Subscribe

RSS Feed (xml)



Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, April 4, 2008

about sectio caesaria ...


Bersenang-senang Dulu, Bersakit-sakit Kemudian?


Akhir-akhir ini, operasi caesar menjadi tren, karena dinilai lebih praktis dan tidak terlalu menyakitkan. Bahkan, para dokter kerap menyodorkan opsi ini. Anda harus tahu, operasi caesar bukannya tanpa komplikasi.

Kita tidak dapat menutup mata melihat adanya kecenderungan terus meningkatnya jumlah ‘peserta’ operasi caesar. Menurut Dra. Yati Utoyo Lubis, Ph.D, staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, “Ironisnya, si pasien itu sendiri diduga memilih operasi caesar yang tak seharusnya (tanpa indikasi kesehatan atau medis) karena sosialisasi yang keliru.”

Memang, menurut WHO (Badan Kesehatan Dunia), standar rata-rata operasi caesar di sebuah negara adalah sekitar 5–15%. “Di Indonesia sendiri, persentase operasi caesar sekitar 5%. Di rumah sakit pemerintah rata-rata 11%, sementara di rumah sakit swasta bisa lebih dari 30%,” ujar Prof. dr. Gulardi Wiknyosastro, Sp.OG, Guru Besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. .

Kecenderungan peningkatan jumlah pasien yang menjalani operasi caesar di rumah sakit swasta ini sempat mengkhawatirkan para dokter yang patuh pada kode etik kedokteran. Bukan saja di Indonesia, tapi juga di Amerika.

Tonya Jamois , Ketua International Caesarean Awareness Network (ICAN - Jaringan Masyarakat Internasional Peduli Caesar) mengatakan, “ American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG - Perkumpulan Ahli Obstetrik dan Ginekologi di Amerika) telah memberikan peraturan untuk para anggotanya, yakni untuk sebuah operasi caesar, mereka harus menunjukkan pada pasien bukan saja prosedur operasi, tapi juga harus menjelaskan bahwa operasi caesar lebih berisiko untuk ibu dan bayinya dibandingkan dengan persalinan normal.”

Harus diakui, banyak wanita yang merasa khawatir harus menjalani persalinan normal hanya karena sering mendengar cerita orang lain mengenai rasa sakit yang akan dialaminya pada proses persalinan normal. Padahal, di ujung cerita, biasanya orang tersebut mengatakan merasa lega dan bahagia begitu buah hatinya lahir. Rasa sakit yang mendera sebelumnya hampir-hampir tidak terasa lagi.

Selain itu, ada bagian cerita yang sering ‘tertangkap’ oleh para wanita tadi, yakni persalinan dengan operasi caesar konon bisa lebih cepat dan proses persalinan bisa tetap diikuti oleh si pasien.

“Mereka lalu menangkap bagian yang menyenangkan dari cerita ini tanpa disertai pengetahuan mengenai rasa sakit yang lama setelah operasi, berbagai risiko yang dapat timbul akibat operasi, maupun proses pemulihan pascaoperasi yang lama. Dengan sosialisasi ‘keliru’ semacam itu, ditambah dengan semakin banyaknya wanita muda yang menjalani operasi caesar, maka seolah-olah operasi menjadi sebuah jalan keluar bagi kekhawatiran mereka,” lanjut Yati .

Padahal, menurut dr. Marius Widjajarta, SE , Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), “Operasi caesar boleh dilakukan asal ada indikasi medis.”

Repotnya, kini, makin banyak pilihan dan juga tawaran yang menyebabkan meningkatnya operasi caesar yang justru tidak perlu.


Sekali caesar tetap caesar?


Meningkatnya jumlah pasien yang menjalani operasi caesar antara lain juga karena pendapat yang menyatakan, bahwa sekali operasi caesar tetap operasi caesar. Artinya, bila mereka menjalani operasi casear sebelumnya, maka persalinan berikutnya mau tidak mau harus caesar lagi. Tidak ada pilihan lain.

“Padahal, dengan sayatan sejajar dengan garis perut dan kondisi kehamilan setelahnya yang baik, persalinan berikutnya tak selalu harus melalui operasi. Juga, mungkin saja pada persalinan pertama terjadi plasenta previa atau terjadi persalinan macet, sementara pada kehamilan kedua kondisinya baik-baik saja sehingga persalinan normal bisa dilakukan,” ujar Prof. Gulardi

Repotnya, ada pula wanita yang minta melahirkan dengan operasi caesar hanya karena ingin memilih tanggal atau waktu persalinan. Kalau keadaannya begini, Prof. Gulardi yang juga mantan Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia menandaskan sekali lagi, “Bila tidak ada keadaan gawat dan indikasi untuk operasi, maka tindakan operasi tidak sesuai dengan kode etik kedokteran. Dokter juga seharusnya memberikan penjelasan pada pasien mengenai risiko operasi caesar yang lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan normal.“

Nah, salah satu penangkal agar tidak mudah memilih operasi caesar adalah dengan memiliki pengetahuan cukup banyak mengenai operasi itu sendiri.


Ada andil rumah sakit juga


Sekilas, tampaknya si pasien itu sendiri yang menjadi ‘biang keladi’ naiknya jumlah angka operasi caesar tanpa indikasi medis. Padahal, pihak rumah sakit juga punya andil. Iming-iming yang ditawarkan oleh pihak rumah sakit seringkali sulit ditampik.

“Bahkan, ada yang melaporkan pada kami, bahwa ada paket yang menawarkan operasi caesar sekalian operasi usus buntu. Padahal, menurut kode etik kedokteran, kedua operasi tersebut tak perlu dilakukan, apalagi sekaligus, jika tak ada indikasi kesehatan,” kata dr. Marius W.

Belum lagi, disinyalir ada pihak rumah sakit yang seakan-akan menggiring pasien untuk ‘memilih’ operasi caesar ketimbang persalinan normal. Misalnya, dengan menyatakan bahwa janin terlilit tali pusat (biasanya dengan menunjukkan hasil USG atau ultrasonografi). Nah, pasien yang tak punya pengetahuan kesehatan sama sekali biasanya akan menuruti tawaran dokternya untuk operasi. “Padahal, lilitan tali pusat tak selalu harus dioperasi,” tutur Prof. Gulardi W.

Sehubungan dengan ini, Prof. Gulardi menambahkan, “Jika ada indikasi untuk operasi pun, dokter harus menjelaskan mengenai penyakitnya, alternatif pengobatannya, serta apa alasan si ibu harus menjalani operasi.”

Pada kondisi tertentu, seperti plasenta previa (ari ari janin menutupi jalan lahir) atau ukuran panggul tak sesuai dengan besar bayi, indikasi operasi caesar memang perlu dan sudah bisa diperkirakan melalui pemeriksaan sebelumnya.

Sayangnya, banyak hal lain yang sebenarnya bukan indikasi medis untuk operasi, namun diarahkan seolah-olah sebuah indikasi operasi. “Keadaan seperti ini bisa terjadi karena di Indonesia belum ada standar pelayanan kesehatan yang jelas,” sambung dr. Marius W. Lalu, apa jalan ke luarnya?


Second Opinion


“Jika Anda menghadapi dokter yang bersikukuh agar Anda dioperasi dan Anda merasa tidak ada indikasi kuat untuk menjalani operasi tersebut, maka sebaiknya Anda mencari second opinion atau bahkan third opinion. Bandingkan pendapat antara dokter yang satu dengan yang lainnya. Lalu, bagaimana cara Anda memilih dokter-dokter yang tepat untuk dimintai pendapat lainnya? “Sebaiknya cari dokter dari rumah sakit yang berbeda. Bisa juga Anda pilih dokter dengan usia yang berbeda. Memang jumlah uang yang akan dikeluarkan dari kocek Anda cukup banyak. Tetapi, dibandingkan dengan risiko yang mungkin Anda hadapi, rasanya pengorbanan Anda itu sepadan,” jelasnya lagi.

Jadi, bila Anda ingin menjalani operasi caesar tanpa indikasi medis, tidak salahnya jika Anda menggali dulu pengalaman mereka yang pernah mengalami proses persalinan dengan operasi dan secara normal. Apalagi, persalinan normal lebih murah, lebih nyaman karena proses penyembuhannya lebih cepat, serta risikonya lebih kecil bagi ibu dan bayinya ketimbang operasi.

Menghitung Usia Kehamilan

Menghitung Usia Kehamilan



Begitu dinyatakan positif hamil, saat itu pula Anda mulai menghitung usia kehamilan. Ada banyak cara. Mana yang paling akurat?

Seringkali ibu hamil tidak tahu pasti berapa usia kehamilannya, karena waktu terjadinya pembuahan tidak diketahui secara pasti. Berikut beberapa cara untuk menghitung usia kehamilan Anda.

Hari pertama haid terakhir

Di sini, daur haid yang jadi patokan. Berdasarkan tanggal itu, dokter memperkirakan usia kehamilan dan tanggal kelahiran si kecil yang dihitung berdasarkan rumus Naegele, yakni (hari+7), (bulan–3), (tahun+1). Contohnya, bila haid terakhir tanggal 1 Juni 2003, diperkirakan persalinan tanggal 8 Maret 2004.

Catatan:

* Rumus ini hanya bisa diterapkan pada wanita yang daur haidnya teratur, yakni antara 28-30 hari.

- Perkiraan tanggal persalinan sering meleset antara 7 hari sebelum atau setelahnya. Hanya sekitar 5% bayi yang akan lahir sesuai perhitungan ini.

- Untuk mengurangi kemungkinan terlalu melesetnya perhitungan pada wanita yang daur haidnya pendek, akan ditambahkan beberapa hari dari hari-H. Sedang yang daur haidnya panjang, akan dikurangi beberapa hari.

- Untuk bulan yang tidak bisa dikurangi 3, misalnya Januari, Februari, dan Maret, maka bulannya ditambah 9, tapi tahunnya tetap.

Gerakan janin

- Pada kehamilan pertama, gerakan janin mulai terasa sesudah usia kehamilan 18-20 minggu.

- Pada kehamilan ke-2 dan seterusnya, gerakan janin sudah terasa pada usia kehamilan 16-18 minggu.

- Memasuki trimester ke-3 usia kehamilan, gerakan janin akan semakin kuat dan sering. Namun, tak jarang janin justru kurang aktif bergerak.

Catatan: Perkiraan ini dilakukan bila Anda lupa hari pertama haid terakhir.

Tinggi puncak rahim

Pada pengukuran ini, dokter akan meraba puncak rahim (fundus uteri) yang menonjol di dinding perut. Di sini, usia kehamilan dihitung dengan 3 cara yang dimulai dari tulang kemaluan.

- Memakai satuan cm

- Kalau jarak dari tulang kemaluan sampai puncak rahim sekitar 28 cm, ini berarti usia kehamilan sudah mencapai 28 minggu.

- Tinggi maksimal puncak rahim adalah 36 cm, dan ini menunjukkan usia kehamilan 36 minggu.

Catatan: Ukuran ini tidak akan bertambah lagi, meski usia kehamilan mencapai 40 minggu. Kalaupun tingginya bertambah, kemungkinan bayi Anda besar, kembar, atau cairan tubuh Anda berlebih.

Menggunakan 2 jari tangan

- Jika jarak antara tulang kemaluan dengan puncak rahim masih di bawah pusar, setiap penambahan 2 jari berarti penambahan usia kehamilan sebanyak 2 minggu.

- Bila jarak tadi sudah di atas pusar, setiap penambahan 2 jari sama dengan bertambahnya usia kehamilan 4 minggu.

- Membandingkan tinggi puncak rahim dan tinggi pusar

- Kalau sama-sama tinggi, ini berarti usia kehamilan mencapai 5 bulan.

- Tinggi puncak rahim yang melewati pusar dan hampir di tengah-tengah dada menunjukkan usia kehamilan sudah sekitar 7 bulan.

- Jika tinggi puncak rahim sudah mencapai dada, dapat dipastikan usia kehamilan 9 bulan.

Catatan: Cara ini agak sulit dilakukan pada wanita yang bertubuh gemuk.
Ultrasonografi (USG)

USG dapat menentukan usia kehamilan dan memperkirakan waktu kelahiran si kecil berdasarkan “gambar” janin yang muncul pada layar monitor dengan bantuan transducer .

Catatan: USG sering digunakan untuk melengkapi kepastian usia kehamilan. Meski biaya pemeriksaannya agak mahal, tapi tingkat akurasinya tinggi, yakni sekitar 95%.

Nah, cara mana yang terbaik? Sulit ditentukan, karena masing-masing cara memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Menggabungkan beberapa cara merupakan pilihan terbaik.

Indita Indriana
Konsultasi ilmiah: dr. Lastiko Bramantyo, Sp.OG, POGI Jaya, RSIA Hermina, Jakarta

Maksimalkan tidur si kecil


Maksimalkan tidur si kecil



Tahukah Anda, bayi yang baru lahir seharusnya tidur selama 16 hingga 20 jam per hari. Wah… lama juga ya.. Ternyata, rasa lapar lah yang mendorongnya untuk bangun, dan rasa kenyang yang membuatnya jatuh tertidur. Tidur merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan fisik dan mental bayi.

Kenapa tidur? Karena dalam tidurnya, ada banyak hal yang berkembang dalam tubuh si kecil. Di antaranya: fisik, sistem imun, daya ingat, sistem jantung dan pembuluh darah, fungsi hormon, metabolisme tubuh, dan masih banyak lagi.

Ternyata bukan orang dewasa saja yang bisa mengalami masalah saat tidur. Bayi pun juga bisa mengalaminya. Jika tidur malamnya kurang dari 9 jam; terbangun lebih dari 3 kali; lama terbangun lebih dari 1 jam; dan ketika bangun dia selalu rewel, menangis, dan susah tidur kembali; Anda harus cepat waspada. Jangan-jangan si kecil mengalami gangguan tidur.

Selain hal di atas, untuk mengetahui apakah si kecil cukup tidur atau tidak, perhatikan hal-hal berikut: bayi akan tertidur dengan mudah di malam hari dan juga terbangun dengan mudah. Lambat laun, hal ini akan menjadi masalah. Karena di satu sisi, mama lelah dan merasa tidak fit sepanjang hari. Begitu juga, banyak dampak kesehatan yang berpengaruh pada bayi.

Jadi suasana seperti apa yang bisa membuatnya tambah lelap dan tenang dalam tidurnya?
Pada sore menjelang malam, kurangilah aktivitas yang bersifat fisik dan memancing emosi. Suasana kamar yang temaram dan tenang juga dapat membuatnya lebih cepat tertidur. Nah, selain hal di atas, Anda juga dapat membuatnya tenang dengan Anda bisa mencoba melakukan hal-hal berikut ini pada si kecil.

Perduli akan hal ini, Johnson’s mengeluarkan seri Johnson’s baby bedtime. Dengan kandungan Natural Calm dari ekstrak Jasmine Blossoms, terbukti secara klinis dalam membantu bayi/ batita tidur lebih cepat dan nyenyak.

Peneliti di Johnson & Johnson yakin, dengan melakukan 3 Langkah Istimewa, kualitas tidur si kecil akan semakin sempurna. Lalu bagaimana langkah-langkahnya:
* Memandikan bayi dengan air hangat menggunakan Johnson’s baby bedtime bath. Namun jika Anda khawatir si kecil akan kedinginan, Anda bisa menggunakan washlap.
* Lakukan pijatan lembut menggunakan Johnson’s baby bedtime oil atau lotion.
* Melakukan kegiatan yang dapat membuatnya tenang dan santai, seperti membacakan dongeng, mendengarkan musik, atau meninabobokan. Boleh juga menaburkan Johnson’s baby bedtime powder sebelum si kecil tidur.

Terbukti, dari hasil penelitian
37% mama merasa berkurangnya waktu yang dihabiskan untuk menidurkan balitanya
49% bayi berkurang total waktu terbangunnya di malam hari
55% mengurangi ketegangan pada mama
59% mengurangi kepenatan pada mama

Ingin memaksimalkan waktu tidur si kecil? Apa salahnya mencoba trik-trik di atas. Bukan hanya kualitas tidur si kecil yang terbantu, namun juga efektif menghilangkan sedikit kepenatan dan stress Anda saat menjadi mama baru. Selamat mencoba! (ica)

Sumber : http://www.parenting.co.id



... water birth


Melahirkan dalam air, cepat dan tanpa rasa sakit






Ketika memutuskan untuk menjalani persalinan dengan metode water birth, Tanya Djohan tidak punya gambaran sama sekali mengenai bagaimana rasanya melahirkan.

Setelah menikah, saya dan suami harus menunggu selama empat tahun untuk dapat memperoleh momongan. Kesulitan kehamilan ini disebabkan karena ada kista dalam rahim saya. Awalnya kista tersebut berdiameter 2,4 cm, lalu berkembang menjadi 3,8 cm selama empat tahun.

Di tahun 2006, ayah menyarankan saya untuk menjalani operasi pengangkatan kista. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Pada saat saya melakukan pengecekan kista untuk persiapan operasi, ternyata dokter menemukan bahwa saya sudah hamil tujuh minggu. Akhirnya rencana operasi pun dibatalkan, dan saya berkonsentrasi penuh pada kehamilan saya.


Harus Diet untuk Mencairkan Darah

Setelah lega karena berhasil hamil, saya kembali mendapat masalah baru. Dokter menemukan bahwa kekentalan darah saya tinggi, sehingga jika dibiarkan, darah tidak dapat masuk ke dalam plasenta, dan janin dalam kandungan pun tidak akan mendapat suplai makanan sehingga mengancam kehidupannya.

Untuk mengatasi hal itu, saya harus menghindari makan makanan seperti seafood, telur asin, makanan bersantan, kulit dan ayam broiler. Saya hanya boleh makan daging, sayur-sayuran, dan ikan air tawar agar kadar kekentalan darah saya dapat turun. Saya tak masalah pantang makan beberapa jenis makanan, meski kadang-kadang saya rindu juga makan seafood, makanan kegemaran saya. Setiap hari, saya juga harus makan tomat, karena menurut dokter, jus tomat dapat menurunkan kadar kolesterol yang tinggi. Gel berwarna kuning yang menyelubungi biji tomat juga dapat menjaga sel-sel dan partikel kecil yang disimpan dalam plasma darah dan menghambat pembekuan darah. Pembekuan darah dapat menyebabkan kematian pada janin karena darah jadi tidak dapat mengalirkan makanan untuk janin.


Bersalin di Dalam Air

Pada malam tanggal 8 Februari 2007, saya keluar vlek. Saya pun masuk RS Sam Marie di bilangan Jalan Wijaya, Kebayoran Baru. Setelah mengecek kondisi saya, dokter menyatakan saya sudah pembukaan dua. Setelah menjalani pemeriksaan CTG (Cardiotocography, pemeriksaan untuk mengecek detak jantung janin di dalam kandungan, jarak kontraksi, dan lainnya yang berhubungan dengan kondisi sebelum persalinan, red), dokter memutuskan untuk melakukan observasi dan melihat perkembangan kondisi saya selama empat jam ke depan.

Dokter mengatakan saya akan melahirkan sekitar pukul 5 atau 6 pagi esok harinya. Tapi ternyata, itu hanyalah taktik dokter supaya saya tidak stres menunggu-nunggu saat persalinan. Saat itu saya memang panik, karena ini adalah kehamilan pertama saya. Beberapa jam kemudian, saya mulai merasakan kontraksi-kontraksi kecil. Dokter pun memberikan pilihan pada saya: jalan-jalan agar proses persalinan terjadi lebih cepat, atau tidur saja dan berisitirahat. Karena ingin cepat melahirkan, saya pun memilih untuk jalan-jalan di sekitar koridor rumah sakit ditemani oleh suami saya, Hadidjasa.


Memilih Water Birth

Salah satu dokter kenalan saya pernah menyarankan saya untuk melahirkan dengan metode water birth saja, jauh sebelum saya tahu mengenai metode persalinan tersebut. Menurut beliau, rasa sakit yang ditimbulkan dari persalinan di dalam air jauh lebih sedikit daripada proses persalinan lain.

Berdasarkan saran tersebut dan pertimbangan bahwa belum banyak orang yang melakukannya pada saat itu, saya akhirnya memutuskan untuk mencoba proses persalinan dalam air. Setelah beberapa kali kunjungan kehamilan di RS Sam Marie, saya lalu mengutarakan keinginan saya itu kepada Dr. Otamar Samsudin yang menangani kehamilan saya sejak awal dan kebetulan juga pencipta metode water birth di RS yang sama. Syukurlah beliau mendukung.


Persalinan Yang Cepat

Memasuki tanggal 9 Februari 2007, tepatnya pukul 24.00, saya merasakan kontraksi mulai sering terjadi dalam waktu yang berdekatan, sehingga saya akhirnya harus turun ke ruang bersalin sekitar pukul 01.32 dini hari. Kolam pun segera disiapkan untuk proses persalinan. Di ruang bersalin, saya merasakan kontraksi yang sangat hebat dan sakit sekali. Saya lalu masuk ke dalam kolam pada pukul 01.42.

Setelah berada di dalam kolam, sakitnya kontraksi berangsur –angsur hilang, tetapi saat itu saya merasa seperti kekurangan oksigen dan ingin pingsan. Saya sampai sempat mengatakan pada perawat yang membantu saya bahwa saya tidak sanggup lagi. Perawat terus memberi saya semangat dan mengatakan bahwa saya tidak boleh merasa tidak sanggup. Saya lalu diberi segelas teh hangat agar lebih bertenaga dan tetap terjaga sampai proses persalinan selesai.

Selama tiga menit saya berada di dalam kolam menjelang proses persalinan. Air hangat yang diisikan ke dalam kolam semakin tinggi sampai mencapai batas perut saya, membuat saya lebih relaks. Pukul 01.54 dokter mulai melakukan observasi dan menyuruh saya mengejan sebanyak 5 kali. Tiga menit kemudian, dokter memberitahu bahwa kepala bayi sudah kelihatan, dan saya tinggal mengejan sedikit lagi untuk dapat mengeluarkannya.

Pukul 02.04, kepala bayi sudah keluar sempurna, dan dokter pun memberi saya aba-aba untuk mengejan secara teratur. Pukul 02.07, bayi laki-laki kami, Rayzard Barransya, lahir ke dunia. Prosesnya begitu cepat, sampai-sampai saya tidak merasakan sakitnya mengeluarkan seorang bayi dari rahim saya. Saya malah sempat tidak percaya ketika dokter menyodorkan Rayzard agar dapat saya gendong. Saya pikir hanya di film-film saja wanita yang baru melahirkan diizinkan untuk menggendong bayinya. Ternyata itu juga terjadi pada saya, dan saya merasa sangat lega dan bahagia.

Sampai saat ini, jika ditanya seperti apa sakitnya melahirkan, saya akan menjawab tidak tahu. Saya takjub dengan proses persalinan dalam air yang saya jalani, yang sama sekali tidak mendatangkan rasa sakit. Rayzard yang lahir dengan berat 2,9 kg dan panjang 49 cm pun kini senang bermain di dalam air. Di samping semua itu, saya bersyukur karena berdasarkan hasil pemeriksaan USG terakhir, kista yang semula saya derita ternyata sudah lenyap tak berbekas.